Minggu, 13 Maret 2011

BAB XXII Hadits Ifqi


Sebuah Cahaya Penerang Sampai Hari Kiamat
v  Munafiq di Kota Madinah
            Wahai saudaraku, sejak Rasulullah SAW menginjakkan kakinya dikota Madinah, dan dipilih sebagai pimpinan Madinah, yang terjadi tidak hanya peperangan dan banyaknya pembunuhan. Lebih dari itu, Rasulullah SAW dan para sahabatnya dalam membangun penduduk Madinah, juga mementingkan hubungan antara masyarakat yang harus terjalin dengan baik, saling menjaga dan melindungi.
            Dibalik itu, ternyata ada sebuah kelompok yang ingin menghancurkan Islam dari dalam. Mereka, sebenarnya tidak beriman pada Allah SWT dan rasul-Nya, akan tetapi mereka tidak mau mengakui kekafirannya. Sehingga ia disebut sebagai orang yang munafik. Kelompok tersebut terus berkembang dikota Madinah, hingga memiliki anggota sebanyak 700 orang.
            Salah satu sikap munafik terhadap umat Islam adalah dengan menyebarkan berita-berita bohong. Juga, berita yang akan membuat umat Islam saling memusuhi. Ketika Rasulullah SAW dipertengah jalan hendak mengunjungi Sa’ad bin Ubadah. Beliau berjumpa dengan ketua dari kaum munafik, ia bernama Abdullah bin Ubay bin Ibnu Salul (Ibnu Salul) dan berkata para Rasulullah SAW,” Engkau telah membuat kami iri, mengapa engkau tidak kembali saja kerumahmu.” Ucapan ini tidak dibalas oleh Rasulullah SAW. Ucapan Ibnu Salul, bertujuan untuk membatalkan kunjungan Rasulullah SAW pada Sa’ad. Sehingga ia mengatakan,” Aku cemburu.” Yaitu, mengapa Rasulullah SAW hanya mengunjungi rumah Sa’ad tidak mengunjunginya. Sebenarnya dalam hati Ibnu Salul tidak menghendaki Rasulullah SAW mengunjungi dirinya.
            Kisah lain dari sikap orang munafik. Setelah perang badar usai, bertambahlah pasukan umat Islam, karena bergabungnya kelompok munafik yang diketuai oleh Ibnu Salul. Mereka mengakui dan mengagungkan agama Islam, dan siap untuk berkorban demi tegaknya agama Islam. Hal itu sebagaimana yang dikatakan Ibnu Salul, ketika Rasulullah SAW pada hari jum’at naik ke atas mimbar hendak memberikan ceramahnya pada sahabat. Tiba-tiba Ibnu Salul mendahului beliau dan berkata,” Inilah Rasulullah, agungkan, ikuti dan dengarkanlah apa yang akan disampaikannya.”
            Namun, ketika perang Uhud berkecamuk, sungguh ucapan Ibnu Salul dan 700 orang anggotanya tidak terbukti. Mereka mengingkari janji yang pernah di ucapkan pada Rasulullah SAW, disaat beliau hendak memberikan ceramah jum’at. Pada awalnya, mereka ikut dengan pasukan Rasulullah SAW ke gunung Uhud untuk melawan pasuakan kafir Quraisy. Akan tetapi ditengah perjalanan, ternyata Ibnu Salul dengan tiga orang tentaranya mengundurkandiri dan kembali ke kota Madinah.
            Melihat apa yang dilakukan oleh Ibnu Salul dan tiga orang ajudannya, salah seorang dari kaum Anshar berkata,” Wahai Ibnu Salul, kembalilah kalian pada Rasulullah SAW, niscaya beliau akan memaafkan kalian.” Ibnu Salul menjawab,” Aku tidak membutuhkan maafnya (Rasulullah SAW).”
            Mereka meninggalkan Rasulullah SAW dan pasukannya, ketika perang Uhud berkecamuk. Berbeda dengan apa yang dilakukan Ibnu Salul dan kroninya setelah perang Khandaq atau al Ahzab usai. Mereka melihat dari kejadian itu, dimana pasukan Islam yang memenangi peperangan atas pertolongan Allah SWT. Sehingga kelompok munafik mengetahui dan memahami betul, tidak akan mungkin dapat memerangi dan menghancurkan umat Islam dengan senjata. Oleh karena itu, mereka mulai menyusun siasat lain dalam memerangi pasukan Rasulullah SAW.
            Siasat yang dipilih kaum munafik adalah informasi. Informasi, menurut mereka. adalah senajata paling ampuh dalam melumpuhkan umat Islam daripada senjata yang sesungguhnya. Nah, itulah alasan mereka mengapa informasi yang diambil sebagai senjatanya. Jika informasi itu adalah informasi yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan, tentu tidak akan ada masalah. Namun, kelompok munafik mempergunakan informasi yang tidak benar dan tidak dapat dipertanggungjawabkan, itulah yang menjadi senjata ampunya.
            Mereka akan mencari kabar berita dari penduduk Madinah dan menyebarkan dengan berita yang sudah dibumbui dengan kebohongan. Tidak hanya dikota Madinah, mereka juga melakukannya di rumah rasulullah SAW. Oleh karena itu, apa yang dilakukan Ibnu Salul terhadap Rasulullah SAW, lebih menyakitkan daripada Abu Lahab, Abu Jahal dan Abu Sofyan. Naudzubillah.
            Awal permulaan usaha kelompok munafik untuk memecah belah umat Islam, terlebih lagi antara kaum Anshar dan Muhajiriin. Ketika usianya perang dengan suku Bani Musthaliq, yang dimenangkan oleh pasukan umat Islam. kemenangan itu, karena lemahnya pasukan Bani Mushtaliq. Nah, setelah kelompok munafik mengetahui kemenangan itu, mulailah mereka menyusun siasat bagaimana cara menyebarkan fitnah dan berita yang dibingkai dengan kebohongan pada barisan umat Islam.
            Kesempatan untuk menyebarkan fitnah pun datang, saat itu telah terjadi perbedaan pendapat dalam menentukan uang sewa terhadap air sumur, apakah uang itu untuk Umar bin Khattab atau Halif dari suku al Khazraj. Karena sulitnya menentukan, maka dua orang pemuda yang satu, adalah pemuda yang hendak menyewa air sumur itu pada Umar, sedangkan yang satunya adalah Halif yang bersikukuh bahwa uang sewa itu harus diberikan padanya. Keduanya pun saling berbantah-bantahan dan berbuntut pada pertengkaran. Tentu saja, apa yang dilakukan kedua anak muda ini menjadi perhatian penduduk, sehingga merekapun berkumpul.
            Melihat penduduk berkerumun, seorang pemuda yang hendak menyewapun berteriak,” Wahai kaum Muhajiriin.” Sedangkan Halif yang berasal dari suku Anshar berkata,’ Wahai kaum Anshar.” Sejak saat itu, terjadilah sedikit perdebatan antara kaum muhajirin dan anshar. Kelompok munafik yang selalu mencari kesempatan untuk menghancurkan umat Islam, tidak menyianyiakan lagi waktu dan kesempatan emas tersebut. Mereka segera menyusun siasat untuk menyebarkan berita bohong dan menghasut para penduduk Madinah. Jika berhadap dengan kaum Anshar, mereka akan mengatakan bahwa air sumur itu memang haknya kaum Anshar. Sebaliknya, ketika berhadapan dengan kaum muhajiriin, mereka akan mengatakan bahwa air sumur itu bukan haknya kaum anshar.
            Tidak ketinggalan, Ibnu Salul sebagai ketua dari perkumpulan orang muanfikpun ikut ambil bagian. Suatu hari, ia berkunjung ke kaum anshar dari suku al Khazraj, setibanya ia berkata,” Wahai suku al Khazraj, kaum muhajiriin adalah sebagai tamu kita, lalu mengapa mereka membalasnya dengan penghinaan.” Mulai sejak itu tersebarlah fitnah-fitnah keji yang dilontarkan kelompok munafiq.
            Saking tersebarnya berita itu, akhirnya terdengarlah oleh Rasulullah SAW. Beliau sangat marah, belum pernah para sahabat melihat beliau marah kecuali dihari tersebarnya fitnah tersebut. Beliau bergegas keluar dari rumahnya dan mengumpulkan para sahabatnya, baik dari kaum anshar maupun muhajirin dan bersabda,” Wahai sahabatku, apakah kalian sudah tidak menghargaiku lagi, dengan berbicara seperti kaum Jahiliyah (menyebarnya fitnah, dan menyimpulkan sendiri tanpa mengadukan hal itu para Rasulullah SAW)? Tinggalkan dan lupakanlah kejadian itu, sungguh ia (fitnah tersebut) akan merusak hubungan kalian.”
            Sedangkan perkataan Ibnu Salul sendiri, sampai juga ketelinga Rasulullah SAW. Ketika itu, Umar sedang duduk disamping beliau, mendengar hal itu, Umar bin Khattab sangat marah dan berkata pada beliau,” Wahai Rasulullah, apakah engkau mengizinkan aku untuk memenggal lehernya (Ibnu Salul)?” Beliau menjawab,” Wahai Umar, Muhammad tidak pernah membunuh sahabatnya sendiri.”
            Akibat dari kejadian ini, Rasulullah SAW agak sedikit tergesah mengumpulkan pasukan dengan jumlah yang tidak begitu besar. Setelah berkumpul, beliau dan pasukannya keluar dari kota Madinah. Namun, sebelum keluar, beliau berkata pada pasukannya” Wahai pasukanku, kita akan berangkat (waktu itu siang) dan akan istirahat dimalam hari.” Setibanya dimalam hari.” Ternyata Rasulullah SAW melanjutkan perjalanannya, lalu beliau berkata,”Kita akan istirahat ketika fajar sudah menyingsing.” Hal yang sama terjadi, fajar sudah terlihat, akan tetapi Rasulullah SAW masih meneruskan perjalanannya, lalu Sa’ad bin Ubadah berkata pada Rasulullah SAW,”Wahai Rasulullah, apakah kita tidak akan pernah beristirahat?” Mendengar hal itu, beliau menjawab,’ Tidakkah kalian mendengar apa yang diucapkan oleh sahabat-sahabat kalian.”
            Allahuakbar, sungguh, penggambaran Rasulullah SAW perihal sikap orang-orang munafir sangat luar biasa. Untuk memberikan pelajaran dan gambaran pada para sahabatnya, beliau mengajak mereka untuk keluar dari Madinah. Dan Rasulullah SAW mengatakan akan istirahat pada jika waktunya sudah tiba. Ketiba waktu yang ditunggu sudah tiba, beliau tetap meneruskan perjalanan. Nah, itulah sikap kaum munafik yang selalu berbeda setiap pembicaraannya. Mereka selalu berbohong dan tidak pernah bertanggungjawab terhadap perbuatannya. Dengan penggambaran tersebut, akhirnya para sahabatpun menyadari bahayanya kaum munafik ini.
v  Hadits Ifki
            Ketahuilah, wahai saudaraku, hadits ifki ini terjadi ketika Rasulullah SAW kembali dari peperangan dengan Bani Musthaliq. Sebagaimana yang dikisahkan oleh ‘Aisyah; Ditengah perjalanan menuju kota Madinah, dimana kami saat itu sudah dekat dengan Madinah, Rasulullah SAW dan pasukannyapun beristirahat sejenak. Pasukanpun beristirahat, lalu aku meminta izin pada Rasulullah SAW untuk pergi kesuatu tempat dan beliau mengizinkan. Aku berdiri dan berjalan hingga melewati seluruh pasukan Rasulullah SAW. Setelah keadaan benar-benar sepi, akupun melepaskan hajatku (buang air kecil). Saat itu, dileher tergantung sebuah kalung indah yang akan aku berikan pada saudaraku. Ditengah hajatku, tidak terasa kalung itu terlepas dari leherku, dan aku tidak mengetahuinya.
            Akupun selesai dari berhajat, lalu aku kembali pada pasukan Rasulullah SAW yang sedang beristirahat. Namun, ketika tanganku menyentuh dada, ternyata kalung yang semula melingkari leherku sudah tiada. Karena aku sudah berniat akan memberikan kalung itu pada saudaraku, maka akupun kembali ketempat dimana aku membuang hajat.
            Pasukan Rasulullah SAW tidak mengetahui jika aku kembali pada tempat hajat untuk mencari kalungku yang terjatuh. Oleh karena itu, mereka menuntun unta yang aku tunggangi, dan mengira aku sudah berada di atasnya. Pasukanpun meninggalkan tempat peristirahatan dan menuju kota Madinah. Setibanya ditempat kalungku terjatuh, akupun menemukan kalungku dan kembali menuju tempat peristirahatan, namun seluruh pasukan sudah menuju kota Madinah.
            Aku tiba di tempat peristirahatan, dan pasukan sudah tiada, mereka berangkat tanpa memberi isyarat apapun, karena letih sehabis perperang. Akupun terduduk disuatu tempat seraya mencopot hijab (cadar) yang menutupi wajahku, seraya bertasbih dan beristigfar. Namun, aku menemukan seseorang yang sedang tertidur, ternyata ia adalah salah seroang pasukan Rasulullah SAW yang tertinggal oleh pasukan, akibat ia tidak terbangun disaat pasukan sudah mulai berangkat. Ia adalah Shafwan bin Mua’atal yang berasal dari penduduk Badar.
            Nah, itulah awal kisah terjadinya fitnah kejam yang dilontarkan kaum munafik. ‘Aisyah berkata,”Demi dzat yang menguasai diriku, aku tidak pernah membuka apapun yang tidak diperbolehkan oleh kaum Jahiliyah maupun Islam.” Shafwan yang melihat ada seorang wanita, iapun  menghampirinya, setelah dilihat ternyata ia adalah ‘Aisyah isteri Rasulullah SAW. Darimana ia mengetahui bahwa wanita itu adalah ‘Aisyah? Ia telah mengenal ‘Aisyah sebelumnya, disaat ia tidak mengenakan hijab. Itulah yang menyebabkan ia mengenali ‘Aisyah. Namun, setelah ia mengenal bahwa wanita itu adalah ‘Aisyah, ia berkata,” Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Rajiun.” Ia mengatakan hal itu, karena bertemu dengan wanita yang bukan mahramnya. Setelah kalimat itu keluar dari lisannya, Shafwan segera memalingkan pandangannya dari wajah ‘Aisyah. ‘Aisyah pernah berkata,” Demi dzat  yang menguasai diriku, tidak pernah sepatahkatapun kalimat yang keluar dari Shafwan, kecuali kalimat, Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Rajiun.
            Shafwan segera mengambil unta miliknya dan mempersilahkan aku menunggangi unta itu tanpa mengatakan apapun, ia hanya memberikan isyarat dengan memberikan pijakan agar aku dapat menaiki punggung unta. Didalam perjalan tidak sepatah katapun kalimat yang terucap darinya. Setibanya di kota Madinah, kelompok munafik mulai melihat ada kesempatan baru. Sehingga hal itu tidak disia-siakan lagi oleh mereka untuk segera menyebarkan berita bohong. Sedangkan dari umat Islam sendiri, mereka berhusnu dhan atas kejadian itu, berbeda dengan kaum munafik.
            Apakah yang dikatakan kaum munafik, wahai saudarakau? Mereka menyebarkan fitnah dengan mengatakan,” Isteri Rasulullah SAW, ‘Aisyah, terlampat sampai ke kota Madinah karena telah melakukan sesuatu (zina).” Nah, itulah berita yang tersebar dikalangan penduduk Madinah. Dengan mendengar cerita itu, mereka telah mendustakan ‘Aisyah RA. Kejadian ini sampai saat ini dikenal dengan sebutan Hadits Ifki.
            Rasulullah SAW yang mendengar kejadian bahwa isteri tercintanya di fitnah dengan sangat kejam. Hati beliau terpukul akibat dari berita ini dan tidak tahu harus berbuat apa untuk menyakinkan para sahabat yang sudah mulai mendengar hasutan dari kaum munafik.
            Allah SWT adalah dzat yang maha pengasih dan penyayang. Dia tidak mungkin membiarkan hamba-Nya yang shalehah terus menerus di hina dan dicaci oleh kaum munafik. Untuk itu, Dia pun menurunkan penyakit pada ‘Aisyah selama satu bulan. Ia sakit? Karena terus menerus memikirkan akan fitnah yang tersebar diseluruh penduduk Madinah. Pada tiga hari terakhir dari sakit yang menimpa ‘Aisyah selama satu bulan, Rasulullah SAW dengan hati yang penuh luka dan sakit memasuki kamarnya, ditempat tidur terlihat ‘Aisyah sedang terbaring karena sakitnya.
            Rasulullah SAW pun mengucapkan salam, ‘Aisyah RA menjawabnya dengan suara yang lemah. Saat Rasulullah SAW memasuki kamarnya, Aisyah pernah meriwayatkan,” Saat itu, aku tidak pernah melihat lagi dari diri Rasulullah SAW kasih sayang dan kelemputan selama aku sakit.” Mengapa Rasulullah SAW seperti itu? Karena hatinya sangat terpukul dengan kejadian dan fitnah yang tersebar di penduduk Madinah.
            Rasulullah SAW memasuki kamar dan bersabda,” Bagaimana kabarmu, wahai ‘Aisyah?” Saat beliau menanyakan kabarku, aku melihat beliau sangat terluka dan terpukul. Akupun menjawab salam Rasulullah SAW,” Sungguh aku tidak mengetahui bagaimana keadaan ku saat ini. Juga, tidak tahu harus berbuat apa.”
            ‘Aisyah pun sembuh dari penyakit yang menimpanya selama satu bulan. Untuk  memulihkan tenaganya, ia keluar dari rumah dan berkumpul dengan para sahabati lain dan menuju ke tempat yang biasa digunakan untuk menggembala. Dan salah satu sahabati yang ikut bersamaku bernama Ummu Masthah, ia adalah wanita yang shalehah dan memiliki anak yang terkenal shalehnya. Ummu Masthah adalah penduduk Badar, namun ia sudah tinggal dikota Madinah.
            Ternyata, Ummu Masthahpun sudah mendengar dan mengetahui fitnah yang tersebar dikalangan penduduk Madinah. Oleh karena itu, iapun menanyakan perihal kebenarannya kepada ‘Aisyah RA. Tentunya, pertanyaan yang dilontakan Ummu Masthah sangat wajar, seperti saat ini jika engkau mendengar sesuatu yang sekiranya ganjil.
            Setibanya ‘Aisyah dan para sahabati itu di tempat menggembalakan ternak bagi penduduk Madinah. Tiba-tiba Ummu Masthah berkata,” Ta’isu (Celakalah).” Perlu diketahui, orang arab biasanya akan mengatakan ‘Ta’isu’ ketika ia melihat musuh dan memanggil musuhnya seperti itu. ‘Aisyahpun terkejut mendengar Ummu Masthah berkata demikian, padahal musuh tidak ada disekitar mereka, perkataan itu membuat ‘Aisyah bertanya,” Wahai Ummu Masthah,mengepa engkau memanggil anakmu demikian, bukankah ia anak yang shaleh.” Aku mengira perkataan tersebut ditujukan pada anaknya.
            Untuk menjelaskan pada ‘Aisyah, Ummu Masthah berkata,” Wahai Ummul Mu’minun,” Sungguh engkau tidak pernah mengetahui apa yang pernah ia (putranya) katakan dan apa yang ia kerjakan.” Karena penasaran, ‘Aisyah bertanya,” Memangnya apa yang ia katakan, wahai Ummu Masthah.” Ummu Masthtah menjawab,” Sungguh anakupun sangat menyayangi apa yang menimpa dirimu, wahai Ummu Mu’minun.” Baru saja Ummu Musthah berhenti berkata demikian, para sahabati yang ada saat itu serempak bertanya,” Wahai ‘Aisyah, apakah benar engkau telah melakukan sesuatu yang keji dengan Shafwan.”
            Ketahuilah, wahai saudaraku, mendengar pertanyaan ini, ‘Aisyah tidak dapat menjawabnya, karena ia langsung pingsan tidak mampu mendengar apalagi menjawab perkataan yang sungguh menyakitkan hatinya. Melihat ‘Aisyah pingsang, para wanita itu membawanya kerumah Abu Bakar, ayah ‘Aisyah. Setelah siuman, iapun kembali kerumahnya. Dilain pihak, Rasulullah SAW menunggu wahyu dari Allah SWT untuk menjawab semua kejadian yang menimpanya. Namun, sebulan beliau menungguh wahyu tidak kunjung datang.
            Mengapa Rasulullah SAW tidak berkata langsung bahwa sesungguhnya fitnah itu adalah kebohongan belaka? Rasulullah SAW tidak pernah berkata sesuatu yang bukan wahyu dari Allah SWT, beliau tidak akan mungkin menceritakan kejadian yang tidak diketahuinya. Terlebih lagi berbohong dengan mengatakan bahwa ‘Aisyah tidak bersalah. Oleh karena itu, beliau lebih memilih diam dan tidak membela ‘Aisyah. Ingatlah, bahwa Rasulullah SAW adalah manusia biasa yang tidak akan mengetahui kejadian yang ghaib tanpa wahyu dari Allah SWT.
            ‘Aisyah meminta izin pada Rasulullah SAW untuk mengunjungi orang tuanya, karena ibunda ‘Aisyah pun sedang terkena sakit. Beliau mengizinkan ‘Aisyah untuk berkunjung kerumah orang tuanya.
            Fitnah dan berita kebohongan yang tersebar di kota Madinah tentang kasus perzinaan yang dilakukan ‘Aisyah, sahabat terbagi menjadi beberapa golongan dalam mensikapi kasus ini. Diantaranya;
1.      Tidak mempercayai dan mendustakan terhadap kejadian ini. Mereka memilih diam tidak berkomentar. Golongan inilah yang paling terbanyak diantara sahabat Rasulullah SAW
2.      Tidak mempercayai fitnah yang tersebar ini, seperti yang dilakuikan oleh Abu Ayyub dan istrinya. Namun, golongan sahabat yang bersikap seperti Abu Ayyub hanya sedikit (minoritas)
Pernyataan ini sebagaimana dialog yang terjadi antara Abu Ayyub dan istrinya. Ketika kejadian itu merebak di kota Madinah, isteri Abu Ayyub bertanya,” Wahai Abu Ayyub, apakah engkau tidak mendengar apa yang dikatakan orang banyak tentang ‘Aisyah.” Abu Ayub menjawab,” Iya aku mendengarnya. Namun aku tidak percaya sedikitpun terhadap berita bohong itu.” Abu Ayyub balik bertanya,” Apakah hal itu pernah terjadi pada dirimu, wahai Ummu Ayyub?” Isteri Abu Ayyubpun menjawab,” Wahai Abu Ayyub, demi Allah, tidak pernah terjadi padaku.” Lalu Abu Ayyub berkata,” Demi Allah, jika seperti itu, ‘Aisyah lebih baik darimu.” Pernyataan yang dimaksud Abu Ayyub, karena fitnah yang tersebar itu adalah kebohongan, maka ujian yang menimpa ‘Aisyah itu merupakan anugerah dari Allah SWT yang harus disikapi dengan sabar.
            Setelah Abu Ayyub selesai berkata demikian, Ummu Ayyub bertanya,” Apakah tidak sadar dengan apa yang engkau katakan, wahai Abu Ayyub?” Ummu Ayyub meneruskan perkataannya,” Jika engkau berada diposisi Shafwan bin Mu’athal, apakah engkau mengira menghargai Rasulullah SAW adalah sesuatu yang buruk?” Abu Ayyub berkata,” Tentu saja tidak, wahai Ummu Ayyub.” Ummu Ayub semakin semangat dan berkata,” Jika aku berada di posisi ‘Aisyah, aku tidak akan pernah mengkhianati Rasulullah SAW, maka ‘Aisyah lebih baik dariku dan Shafwan lebih baik darimu.”
3.      Kelompok yang ketiga, Tidak mempercayai dan mendustakan, namun ia menjadikan cerita ini sebagai kisah yang menarik dan bagus untuk kemudian mereka ceritakan pada orang lain. Nah, diantara sahabat yang menyebarkan kisah ini adalah; Hisan bin Tsabit dan Hamnah binti Jahasy, ia adalah saudari kandung Zainab binti Jahasy isteri Rasulullah SAW.
4.      Dan kelompok yang keempat adalah orang yang menciptakan dan membesar-besarkan kejadian ini. Mereka ini adalah kaum munafik yang sengaja melakukannya agar umat islam terpecah belah dan mengkhianati Rasulullah SAW.
Siapakah ayah yang tidak menyayangi dan mencintai anaknya, wahai saudaraku. Fitnah yang menimpa putrinya, membuat Abu Bakar menangis sepanjang hari. Lalu, bagaimana dengan Shafwan? Karena Hisan bin Tsbit semangat menyebarkan kisah ini, ia pun mengambil tempat busur panahnya dan memukulkan pada Hisan, hingga mengenai kepalanya. Hisan tidak terima diperlakukan seperti itu oleh Shafwan. Oleh karena itu, ia mendatangi Rasulullah SAW dan mengadu padanya perihal perlakukan Shafwan. Lalu Rasulullah SAW pun memutuskan,” Engkau, wahai Shafwan pergilah dari sini (tempat kediaman Rasulullah). Dan engkau, wahai Hisan, aku akan memberikan hakmu, ambillah selimut tebal ini untukmu.”
Sampai detik itu, Jibril tidak kunjung datang pada Rasulullah SAW untuk menceritakan kejadian yang sebenarnya. Mengapa? Karena Allah SWT ingin memberikan pelajaran yang sangat berarti untuk penduduk kota Madinah.
            Sungguh, wahai saudaraku, kesabaran Rasulullah SAW dan ‘Aisyah RA sedang di uji. Kesabaran itulah yang kemudian hari akan memberikan sebuah pelajaran yang sangat berarti untuk keberlangsungan hidup manusia hingga saat ini. Untuk itu, wahai saudaraku, hati-hatilah jika engkau berbicara, jangan pernah mengatakan sesuatu yang sekiranya akan membuat orang lain terluka. Jangan pernah berkata dan menuduh orang lain melalukan perselingkuhan. Berhati-hatilah atas kehormatan wanita, karena ia sangat dimuliakan dalam ajaran Islam
            Tahukah engkau, wahai saudaraku, apa sikap Rasulullah SAW saat fitnah ini kian tersebar di kalangan penduduk Madinah? Minimalnya ada dua sikap yang dimiliki Rasulullah SAW; sikapnya sebagai seorang suami, dan sebagai seorang pemimpin negara. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang berkecamuk dalam hati Rasulullah SAW sebagaimana manusia biasa. diantaranya;
1.      Beliau ingin menceraikan ‘Aisyah RA
2.      Menolak dan melindungi ‘Aisyah dari fitnah ini dengan segala macam kekuatan yang dimilikinya, seperti sebuah hukum yang pernah beliau sabdarkan,” Siapa saja yang membicarakan kejelekan keluargaku, maka penjaralah selama satu tahun.”
3.      Beliau menghindar dari rakyatnya untuk memutuskan sesuatu, agar fitnah ini segera dapat diselesaikan dan tidak menjadi masalah yang berkepanjangan di hadapan rakyatnya
            Namun, semua itu tidak dilakukannya, beliau lebih memilih untuk meminta pendapatnya pada sahabati dan isteri-isteri beliau. Bagaimana sikap mereka terhadap kejadian yang menimpa ‘Aisyah RA. Mengapa beliau melaukan hal itu? Rasulullah SAW berharap dengan kesaksian dari para sahabati dan istrinya, bisa membebaskan ‘Aisyah dari tuduhan dan fitnah keji tersebut.
            Untuk mewujudkan hal itu, Rasulullah SAW mendatangi Ummu Aiman dan bertanya padanya,” Wahai Ummu Aiman, apakah engkau mendengar apa yang tersebar dimasyarakat saat ini? Bagaimana pendapatmu?” Ummu Aiman menjawab,” Mudah-mudahan Allah SWT melindungi pendengar dan penglihatanku. Aku tidak mengetahui kejadian sesungguhnya, namun aku yakin kejadian itu adalah suatu kebaikan.”
            Setelah Rasulullah SAW selesai bertanya pada Ummu Aiman, beliau mendatangi Zanab binti Jahasy, isteri beliau. Dan bertanya,” Wahai Isteriku, apakah engkau mendengar apa yang tersebar dimasyarakat saat ini? Bagaimana pendapatmu?” Zainab menjawab,” Mudah-mudahan Allah SWT melindungi pendengar dan penglihatanku. Aku tidak mengetahui kejadian sesungguhnya, namun aku yakin kejadian itu adalah suatu kebaikan.”
            Tidak hanya sampai disitu beliau meminta pendapat sahabatnya, karena beliaupun mengutus seorang sahabatnya untuk meminta pendapat pada Usamah bin Zaid ra dan pada Ali bin Abu Thalib. Keduanyapun memberikan pendapatnya masing-masing. Ali memberikan pandangannya, bahwa Allah SWT tidak mungkin memberikan masalah yang sulit ini pada Rasulullah SAW jika tidak ada manfaatnya. Ali berpandangan bahwa kejadian untuk menambah keimanan dan ketetapan hati Rasulullah SAW dan beliau mampu menentukan sikapnya yang terbaik. Sedangkan Usamah, ia memberikan pandangannya, dan mengetahui betul apa yang menimpa hati Rasulullah SAW. Karena ia masih kerabat beliau, maka pandanganyamu tidak jauh dengan Rasulullah SAW, mengingkari dan mendustakan kejadian tersebut. Ia menganggap tidak mungkin Ummul Mu;miniin yang sudah dijanjikan surga berlaku demikian.
            Rasulullah SAW masing menganggap kurang dari sekian pendapat yang ia terima. Oleh karena itu, beliau pun bertanya pada Umar bin Khattab,” Wahai Umar, apakah engkau telah mendengar apa yang terjadi dimasyarakat saat ini? Lalu bagaimana pendapatmu,” Umar menjawab,” Wahai Rasulullah, apakah dari isteri yang telah nikahi?” Rasul menjawab,” Allahlah yang telah menikahkan aku dengannya (‘Aisyah).” Umar berkata,” Wahai Rasulullah, apakah engkau mengira Allah SWT telah menipumu.” Ketahuilah, wahai saudaraku, Rasulullah SAW menikah dengan ‘Aisyah RA atas perintah Allah SWT. Untuk itu, Umar sangat yakin sekali, bahwa perintah Allah SWT untuk menikah ‘Aisyah tidak mungkin akan terjadi hal yang demikian.
            Salah seorang pakar dari barat mengatakan,” Setiap aku hendak mendustakan Rasulullah SAW, aku terbentur dengan hadits ifki, dimana beliau terus menjaga kesabarannya selama satu bulan. Niscaya jika itu menimpa orang lain, ia tidak akan pernah dapat menaggung sabarnya walau hanya satu hari.”
            Setelah Rasulullah SAW meminta pendapat kepada para sahabatnya, suatu hari beliau naik keatas mimbar dan berkata pada penduduk Madinah,” Wahai penduduk Madinah, ada sebuah kabar yang datang padaku bahwa ada seorang lelaki yang telah menyakiti diriku dan keluargaku. Sungguh aku tidak mengetahui kecuali kebaikan yang dilakukan oleh keluargaku, dan semua orangpun menyaksiakan hal itu. Sungguh ada seseorang yang memberitahuku akan lelaki itu, maka siapakah diantara kalian yang mau mengakuinya padaku?”
            Pidatopun usai, lalu seorang pemimpin dari suku al Aus menimpali perkataan Rasulullah SAW,” Jika lelaki yang berbuat seperti itu dari golonganku, niscaya aku akan memenggal lehernya. Juga, kami akan memenggal leher lelaki itu, meskipun ia dari suku al Khazraj.” Mendengar penuturan pemimpin al Aus, pimpinan al Khazraj pun menimpalinya dan berkata,” Engkau telah berbohong.” Artinya, ia tidak akan melakukan hal itu.Aakibatnya, kedua suku tersebut saling  berselisih pendapat. Rasulullah SAW yang menyaksiakan sikap para sahabatnyapun sedih dan kecewa, lalu beliau bersabda,” Wahai sahabatku, apakah kalian masih bersikap seperti kaum Jahiliyah, padahal aku ada bersama kalian. Pergilah kalian kerumah masing-masing.”
            Rasulullah SAW turun dari podium dan sahabat kembali kerumah masing-masing.  Turunnya dari podium, beliau langsung menghampiri isteri tercintanya, ‘Aisayah. Beliau duduk disamping ‘Aisyah, sebelum bertanya, beliau terlebih dahulu mengucapkan syahadat dan berdzikir dengan memuji Allah dzat yang dengan cahaya-Nya, langit dan bumi dapat berdiri tegak tanpa ada tiang yang menyanggahnya. Setelah itu, beliau bertanya,” Wahai ‘Aisyah, jika engkau tidak melakukan apa yang dikatakan masyarakat saat ini, engkau pasti akan dibebaskan oleh Allah. Sebaliknya, jika engkau telah melakukan perbuata dosa, maka memohonlah ampunan Allah SAW dan bertaubatlah pada-Nya. Karena siapa saja seorang hamba yan mau bertaubat, Allah SWT pasti akan menerima taubat hamba-Nya.”
            Mendengar penuturan Rasulullah SAW, ‘Aisyah menangis sejadi-jadinya, ia tidak dapat berkata sepatah katapun, baik untuk menjawab maupun beristigfar. Karena nafasnya sesak mendengar penuturan suami tercintanya. Memang, kejadian ini sangat memperngaruhi jiwa siapapun yang mengalaminya, terlebih lagi jika tidak pernah melakukan perbuatan dosa itu. Namun, wahai saudaraku, jika engkau tidak pernah melakukan perbuatan dosa, tapi dituduh melakukannya. Yakinlah, Allah SWT pasti akan menolong dengan cara yang terkadang kita tidak menyadarinya.
            ‘Aisyah menceritakan penuturan Rasulullah SAW pada ayahnya, Abu Bakar. Mendengar hal itu, Abu Bakar pun tidak mampu untuk berkomentar, ia berkata,” Wahai ‘Aisyah, demi Allah, akupun tidak tahu harus berkata apa pada Rasululah SAW.” Abu Bakar tidak bisa menjawab, ‘Aisyah menghampiri ibundanya, dan berkata,’ Wahai ibunda, tolong berilah aku jawaban akan pertanyaan Rasulullah SAW.” Ibu yang baik, pasti akan sedih jika mengalami hal yang demikian. Apalagi jika anak itu adalah putri kesayangannya. Nah, ibunda ‘Aisyah mengalami hal yang sama, ia sedih dan menangis karena tidak dapat berbuat banyak untuk membebaskan putrinya dari tuduhan keji yang dilontarkan kaum munafik. Ibundanya berkata,” Wahai putriku, demi Allah, aku pun tidak tahu harus berkata apa pada Rasulullah SAW.” 
              Keluarga yang sedang berdukapun berkumpul disebuah ruang, Rasulullah SAW, Abu Bakar, Ummu Rauman, dan ‘Aisyah. Suasana menjadi hening, karena mereka sibuk dengan air mata yang seakan tidak mau henti keluar dari mata. Subahanallah, sungguh fitnah itu membuat banyak orang lain terluka. Ditengah keheningan duka yang mendalam, ‘Aisyah pun berkata,” Demi Allah, aku mengetahui jika mereka (penduduk Madinah) telah mendengar akan cerita ini, dan memendamnya dalam hati. Pun, aku mengetahui jika mereka mempercayai kejadian ini. Oleh karena itu, jika aku menyampaikan pada mereka, bahwa aku tidak bersalah dan terbebas dari fitnah ini, niscaya mereka tidak akan mempercayaiku. Demi Allah, aku tidak pernah bertemu dengan seseorang dari mereka kecuali Abu Yuzuf yang setelah mendengar cerita ini, ia berkata,” Sabar itu indah, dan Allah SWT pasti akan menolong hamba-Nya yang selalu berada di jalan-Nya.”
            ‘Aisyah pergi ke kamar dan berbaring seraya berdoa pada Allah SWT, setelah ia berkata demikian pada kedua orang tuanya. Abu Bakar dan Ummu Rauman tidak dapat menahan tangisnya, mereka tidak tahu harus berbuat apa untuk membesarkan hati putri tercintanya. Sedangkan Rasulullah SAW tidak bergeming melihat istrinya pergi ke kamar tidur untuk sekedar merebahkan diri dan jiwanya yang sedang terguncang. Beliau tidak bergerak sama sekali, sampai datangnya wahyu.
            Setelah menerima wahyu dari Allah, Rasulullah SAW merasakan badannya sangat berat untuk digerakkan. Oleh karena itu, beliau segera berbaring, keringat pun bercucuran dari keningnya yang suci. Biasanya, jika beliau menerima wahyu, maka badannya menggigil dan keringat bercucuran. Ketika melihat apa yang terjadi pada Rasulullah SAW saat itu, ‘Aisyah dan kedua orang tuanya yakin bahwa beliau telah menerima wahyu dari Allah SWT. Mengetahui wahyu telah datang, ‘Aisyah tidak kaget dan ia yakin bahwa wahyu itu datang untuk membebaskan dirinya, karena memang ia tidak bersalah dan tidak melakukan seperti apa yang difitnahkan padanya. Sebaliknya, kedua orang tua ‘Aisyah khawatir dan takut, jangan-jangan wahyu itu datang untuk membenarkan apa berita yang tersebar selama ini, yaitu putrinya telah melakukan perbuatan dosa dengan Shafwan bin Mu’athal.          
            Sebagai isteri yang shalehah dan ingin mendapatkan keridhaan Allah SWT, ‘Aisyah mengusap dan mengelap kjeringat yang bercucuk di kening Rasulullah dengan lembut. Melihat hal itu beliau tersenyum seraya berkata pada istrinya,” Wahai ‘Aisyah, Allah SWT telah memberi kabar gembira padaku, bahwa engkau tidak berbuat seperti berita yang tersebar. Dia mengirim berita ini langsung dari langit ke tujuh.”
            Berita dan kabar, itulah yang diucapkan Rasulullah SAW pada ‘Aisyah. Oleh karena itu, ‘Aisyahpun khawatir, jangan-jangan  berita itu hanya sebatas mimpi Rasulullah SAW dan bukan wahyu yang akan ditetapkan menjadi al Quran dan terus dibaca sampai hari akhir.” Namun, kabar berita yang keluar dari Rasulullah SAW bukanlah sebuah mimpi, ia adalah wahyu yang kemudian ia termasuk bagian dari ayat yang ada di al Quran. Mendengar hal itu, wajah ‘Aisyah berseri-seri dan kegembiraan mulai terlihat dari wajahnya yang selama berita itu tersebar, sulit untuk melihat wajah ‘Aisyah berseri seperti biasanya.
            Abu Bakar dan Ummu Rauman yang melihat sedari tadipun  berkata pada ‘Aisyah,” Wahai ‘Asiyah, bangun dan ucapkanlah salam dan sanjunglah suamimu.” Saran Abu Bakar ini untuk memberikan ketengan dan semangat bagi Rasulullah SAW. Untuk menjawab saran ayahnya, ‘Aisyah berkata,’ Tidak, wahai ayahku, aku tidak akan berdiri dan memuji Rasulullah, aku juga tidak akan memujimu, wahai ayahku. Juga, tidak memuji ibuku. Karena aku akan memuji dzat yang telah menurunkan ayat dari atas langit ketujuh sebagai pembebasanku dari fitnah yang tersebar.”
إِنَّ الَّذِينَ جَاءُوا بِالإفْكِ عُصْبَةٌ مِنْكُمْ لا تَحْسَبُوهُ شَرًّا لَكُمْ بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ مَا اكْتَسَبَ مِنَ الإثْمِ وَالَّذِي تَوَلَّى كِبْرَهُ مِنْهُمْ لَهُ عَذَابٌ عَظِيمٌ (١١)
Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar (QS. an Nuur[24]:11)
            Setelah turunnya ayat di atas, Allah SWT menurunkan ayat lain pada surah yang sama;
لَوْلا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بِأَنْفُسِهِمْ خَيْرًا وَقَالُوا هَذَا إِفْكٌ مُبِينٌ (١٢)لَوْلا جَاءُوا عَلَيْهِ بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَإِذْ لَمْ يَأْتُوا بِالشُّهَدَاءِ فَأُولَئِكَ عِنْدَ اللَّهِ هُمُ الْكَاذِبُونَ (١٣)وَلَوْلا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ لَمَسَّكُمْ فِي مَا أَفَضْتُمْ فِيهِ عَذَابٌ عَظِيمٌ (١٤)إِذْ تَلَقَّوْنَهُ بِأَلْسِنَتِكُمْ وَتَقُولُونَ بِأَفْوَاهِكُمْ مَا لَيْسَ لَكُمْ بِهِ عِلْمٌ وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمٌ (١٥)وَلَوْلا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ قُلْتُمْ مَا يَكُونُ لَنَا أَنْ نَتَكَلَّمَ بِهَذَا سُبْحَانَكَ هَذَا بُهْتَانٌ عَظِيمٌ (١٦)يَعِظُكُمُ اللَّهُ أَنْ تَعُودُوا لِمِثْلِهِ أَبَدًا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (١٧)وَيُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الآيَاتِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (١٨)إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَنْ تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ (١٩)وَلَوْلا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ وَأَنَّ اللَّهَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ (٢٠)يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ وَمَنْ يَتَّبِعْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ فَإِنَّهُ يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَوْلا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا زَكَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ أَبَدًا وَلَكِنَّ اللَّهَ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (٢١)
12. Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mukminin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: "Ini adalah suatu berita bohong yang nyata."
13. Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Olah karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi maka mereka Itulah pada sisi Allah orang- orang yang dusta.
14. Sekiranya tidak ada kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua di dunia dan di akhirat, niscaya kamu ditimpa azab yang besar, karena pembicaraan kamu tentang berita bohong itu.
15. (ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal Dia pada sisi Allah adalah besar.
16. Dan mengapa kamu tidak berkata, diwaktu mendengar berita bohong itu: "Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini, Maha suci Engkau (ya Tuhan kami), ini adalah Dusta yang besar."
17. Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman.
18. Dan Allah menerangkan ayat-ayatNya kepada kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
19. Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang Amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui.
20. Dan Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua, dan Allah Maha Penyantun dan Maha Penyayang, (niscaya kamu akan ditimpa azab yang besar).
21. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah- langkah syaitan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah syaitan, Maka Sesungguhnya syaitan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar. Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.(QS. an Nuur[24]:12-21)
            Setelah mendengar ayat ini, Abu Bakar berkata,” Aku tidak akan pernah membiarkan orang-orang yang menyebarkan fitnah yang keji ini. Juga tidak akan memberikan pertolongan pada mereka, setelah apa yang mereka lakukan terhadap keluargaku.” Setelah Abu Bakar berkata demikian, Allah SWT menurunkan ayat lain, sebagai jawaban dari perkataan Abu Bakar.
وَلا يَأْتَلِ أُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ أَنْ يُؤْتُوا أُولِي الْقُرْبَى وَالْمَسَاكِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (٢٢)
Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka mema'afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, (QS. an Nuur[24]:22)
            Turunnya ayat di atas, membuat Abu Bakar sadar dan ia pun segera memafkan penduduk Madinah yang telah menyebarkan fitnah. Mengapa? Karena ia lebih memilih pada keridhaan Allah SWT daripada mengikuti hawa nafsunya.
            Tidak sampai disitu, Allah SWT pun menurunkan ayat lain pada surah yang sama. Ayat ini untuk mensikapi orang-orang munafik, yaitu Abdullah bin Ibnu Salul dan menjanjikan baginya adzab yang sangat pedih. Allah SWT berfirman.
إِنَّ الَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلاتِ الْمُؤْمِنَاتِ لُعِنُوا فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ (٢٣)يَوْمَ تَشْهَدُ عَلَيْهِمْ أَلْسِنَتُهُمْ وَأَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (٢٤)يَوْمَئِذٍ يُوَفِّيهِمُ اللَّهُ دِينَهُمُ الْحَقَّ وَيَعْلَمُونَ أَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ الْمُبِينُ (٢٥)
23. Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena la'nat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar,
24. Pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.
25. Di hari itu, Allah akan memberi mereka Balasan yag setimpal menurut semestinya, dan tahulah mereka bahwa Allah-lah yang benar, lagi yang menjelaskan (segala sesutatu menurut hakikat yang sebenarnya). (QS. an Nuur[24]:25)
v  Hikmah
            Sungguh, wahai saudaraku, kisah tentang hadits ifki (cerita bohong) yang tersebar pada zaman rasulullah SAW terhadap ‘Aisyah RA, isteri tercintanya. Adalah sesuatu yang harus engkau perhatikan baik-baik. Tidak hanya itu, engkaupun harus menjaga lisan dan hatimu dari menuduh orang lain, terlebih lagi jika tuduhan dalam masalah perzinaan. Nah, oleh karena itu, kisah yang terjadi pada hadits ifki banyak sekali mengandung hikmah dan ajaran yang harus engkau tanamkan dalam kehidupan sehari-hari. Diantara hikmah itu;
1.       Tidak diperbolehkan engkau menerima begitu saja tentang isu yang menyangkut kehormatan saudaramu, sebelum mendatangkan saksi 4 orang. Terlebih lagi dalam masalah perselingkuhan atau perzinahan.
2.       Ada dua hal yang penting untuk diperhatikan, ketika engkau mendengar sesuatu dari orang lain yang belum terbukti kebenarannya; diantaranya;
  1. Tahan dan terimalah berita itu hanya sampai pada hati dan pendengaranmu, jangan menceritakannya pada orang lain.
لَوْلا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بِأَنْفُسِهِمْ خَيْرًا وَقَالُوا هَذَا إِفْكٌ مُبِينٌ (١٢)
Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mukminin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: "Ini adalah suatu berita bohong yang nyata." (QS. an Nuur[24]:12)
  1. Selalu berbaik sangkalah engkau pada orang lain.
      Untuk melakukannya ada beberapa cara yang efektif agar hati selalu berbaik sangka terhadap orang lain. pertama, agar hati tidak dibujuk setan untuk selalu berburuk sangka, maka ucapkanlah selalu kalimat ‘Adzubillahi mina asy Syaithani ar Rajiim (Aku berlindung dari bisikan setan yang terkutuk) seraya berkata,” Wahai hati, janganlah engkau mempercayai kabar itu.”
      Kedua, adalah dengan bentuk perbuatan, yaitu mendatangkan 4 orang saksi. Sebagaimana firman Allah SWT;
لَوْلا جَاءُوا عَلَيْهِ بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَإِذْ لَمْ يَأْتُوا بِالشُّهَدَاءِ فَأُولَئِكَ عِنْدَ اللَّهِ هُمُ الْكَاذِبُونَ (١٣)
Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Olah karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi Maka mereka Itulah pada sisi Allah orang- orang yang dusta. (QS. an Nuur[24]:13)
            Allahuakbar, sungguh kejadian dan fitnah itu merupakan bukti, Islam sangat menjaga dan menghargai hak dan kebebasan orang lain. Sehingga yang sifatnya prifasi tidak diperbolehkan untuk disebarluaskan. Pun, kejadian ini teguran bagimu, wahai saudaraku, jangan pernah menuduh orang lain tanpa sebab. Jangan pernah membicarakan keburukan dan kejelakan saudaramu. Engkau, wahai infotaiment, janganlah pernah membicarakan aib dan keburukan orang lain. Karena siapapun pastilah masih memiliki sifat positif yang sekiranya akan mengajak pemirsa maupun pembaca untuk melakukan hal yang sama.
            Untuk itu, target utama dari kisah ifki ini adalah untuk menjaga kehormatan dan kemuliaan masyarakat, dengan tidak menyebarkan keburukan dan kejelakan orang lain. Karena hal itu, hanya akan membuat orang yang bersangkutan terhina dan teraniyaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar